Pembahasan Ijma

 

IJMA’

PENGERTIAN

Ijma menurut bahasa ada dua ma’na

1.      ( الاِتّفاق=yang berarti sepakat) contohnya أجْمعَ القَومُ على كذا yaitu mereka bersepakat atas hal tersebut.

2.      ( العَزْمُ والتّصْمِيْمُ على الامْر =bermaksud dan merencanakan suatu perkara) seperti ucapan أجْمَعَ فلانٌ أمْرَهُ على كذاyaitu bermasud dan merencanakan perkara tersebut.

Ijma menurut Istilah adalah : sepakatnya seluruh Mujtahid dari Ummat Nabi SAW setelah beliau meninggal pada satu masa dari beberapa masa terhadap satu hukum syari’at terkait satu kejadian dari beberapa kejadian.

Maka dikecualikan dengan lafazh mujtahid,yang selain mujtahid seperti orang awam(kebanyakan/yang tidak mengerti),maka kesepakatan mereka(yang bukan mujtahid) tidak dianggap sebagai ijma.

Dan yang dimaksud Mujtahid adalah orang yang sampai kepada martabat Ijtihad dengan memiliki skill ilmiah yang dengannya mampu meng-istinbath(menghasilkan) hukum hukum syari’at yang diambil dari dalil dalil.

Yang dimaksud dengan ucapan mereka setelah meninggalnya Rosululloh bahwa sesungguhnya Ijma itu tidak terjadi kecuali setelah meninggalnya Rosululloh SAW. Adapun ketika beliau masih hidup,hujjah dicukupkan dengan perkataan.perbuatan dan penetapan Rosululloh,maka tidak dianggap hujjah ucapan seorang pun apabila Rosul masih ada.

Dan yang dimaksud pada satu masa dari beberapa masa bahwa sesungguhnya Ijma tidak berlaku untuk semua masa(sepanjang zaman)[1]

Dan dikecualikan dengan ucapan terhadap satu hukum syari’at,hukum selain hukum syari’at,seperti hukum bahasa dan imu fisika

 

MACAM MACAM IJMA

 

Ijma apabila dilihat dari tatacara menghasilkan nya dan terjadinya ada dua bagian,yaitu Ijma Shorih dan Ijma’ Sukuti

Shorih adalah Ijma yang dihasilkan dengan cara masing masing Mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang jelas,baik berupa fatwa atau keputusan. Yaitu setiap Mujtahid mengeluarkan ucapan atau perkataan yang dianggap sebagai pendapatnya. Disebut juga Ijma’ Haiqqi dan ijma tersebut sebagai hujjah(sumber argumen) menurut mayoritas Ulama.

Ijma Sukuti adalah ijma yang terjadi ketika sebagian Ulama Mujtahid yang satu masa mengeluarkan pendapatnya tentang suatu kejadian,baik berupa fatwa atau ketetapan,sedangkan Mujtahid yang lain diam tidak mengeluarkan pendapat baik menyetujui atau tidak menyetujui. Disebut Ijma’ I’tibari karena Mujtahid yang diam tidak berpendapat tidak dipastikan setuju dan sepakat(diam bukan berarti setuju). Menurut Mayoritas Ulama Ijma Sukuti bukanlah Hujjah karena tidak mewakili pendapat kebanyakan.

 

KEHUJJAHAN IJMA

 

Mayoritas Ulama berpendapat bahwa Ijma’ Shorih adalah hujjah(Argumentasi) Syar’iyyah dan undang undang syari’at yang wajib untuk diikuti dan diambil serta haram menyelisihinya. Dalil dalil tentang kehujjahan Ijma sangat banyak,diantaranya :

1.      Firman Alloh Ta’ala QS. An Nisa :115

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيراً

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Ayat diatas Alloh mengancam kepada orang yang mengikuti jalan selain jalan orang uang beriman dengan ancaman dimasukkan ke neraka dan mempunyai tempat kembali yang buruk. Maka Ayat tadi menunjukkan bahwa mengikuti jalan selain jalan orang Mu’min adalah suatu yang tidak diperbolehkan karena bathal. Dan sesungguhnya mengikuti jalan orang yang beriman adalah wajib karena hal tersebut adalah haq. Dan yang dimaksud sabiilul Mu’minin adalah sesuatu yang dihasilkan dari kessepakatan mereka berupa ucapan,perbuatan. Dan hal tersebut menunjukkan bahwa Ijma adalah Hujjah(argumentasi) yang wajib diikuti dan haram menyelisihinya.

2.      Firman Alloh Ta ‘ala QS. An Nisa :59

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Alloh telah memerintahkan kepada Orang beriman  untuk menta’ati Alloh,Rosul dan Ulil Amri,Ulil Amri dalam urusan dien adalah para Mujtahid dan Ahli Fatwa dari golongan Ulama. Apabila mereka bersepakat terhadap suatu hukum maka wajib untuk mengikutinya,melaksanakan hukum Islam sesuai dengan Nash Al Qur’an dan tidak boleh menyelisihinya.

3.      Sabda Rosulullloh SAW

إنّ الله لَمْ يكنْ لِيَجْمَعَ أمّةَ محمّدٍ صلّى الله عليه وسلّم على ضلالةٍ,فإذا رأيْتُم الاخْتلافَ فعليكُم بالسِّوادِ الأعْظَمِ(رواه ابن ماجه)

Sesungguhnya Alloh Ta’ala tidak mungkin mengumpulkan Ummat ini dalam kesesatan,apabila terjadi perbedaan,maka kalian harus mengikuti pendapat mayoritas.(H.R Ibnu Majah)

Hadits ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Alloh telah memuliakan Ummat ini dengan tidak akan berkumpulnya mereka kecuali diatas kebenaran dan hidayah,sedangkan hidayah adalah haq,dan haq haruslah untuk dijadikan  pelajaran dan diambil.

 

KEMUNGKINAN TERJADINYA IJMA

 

Para Ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya Ijma,hal tersebut terangkum dalam dua pendapat.

Pendapat pertama adalah pendapat Mayoritas ahli fiqih yang berpendapat terjadinya ijma adalah sesuatu yang mungkin dan telah terjadi dalam prakteknya.

Pendapat kedua adalah pendapat Sahabat Nazhom(Ibrohim bin sayyar An Nazhom) dan sebagian golongan Syi’ah,mereka berpendapat bahwa terjadinya Ijma adalah suatu yang tidak mungkin.

Jumhur(mayoritas ulama) yang menyatakan tidak mungkin terjadi berdalil,karena ijma pernah terjadi di kalangan Shahabat Rosul dan yang lainnya. Dan telah di nuqil(diambil) dari mereka ijma yang banyak,seperti ijma nya mereka untuk memberikan haq warits 1/6 kepada kakek[2],ijma nya para Shahabat tentang haramnya nikah seorang Muslimah kepada yang bukan Muslim,sahnya akad nikah tanpa menyebutkan mahar[3],ijma haram menikahi seorang perempuan sekaligus dengan bibinya(baik dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu)[4]. Ijma ijma yang telah terjadi ini adalah dalil yang pasti bahwa terjadinya Ijma adalah sesuatu yang mungkin,dan pasti ijma adalah suatu yang mungkin pada zaman sekarang.

Adapun pendapat yang kedua berdalil dengan dalil sebagai berikut.

1.      Ijma membutuhkan sepakatnya seluruh Mujtahid pada satu masa dari beberapa masa untuk menghasilkan satu hukum syara’. Kesepakatan ini tidak memungkinkan kecuali harus berdasarkan pendapat setiap mujtahid baik secara ucapan ataupun secara praktek. Dan hal tersebut tidak memungkinkan kecuali dengan mengetahui seluruh Mujtahid,dan hal tersebut adalah hal yang sulit karena mereka(para Mujtahid) berjumlah banyak dan terpisah di beberapa negara dan menyebar di beberapa kota.

2.      Ijma haruslah dibangun di atas dalil,sedangkan dalil(nash) baik Al Qur’an atau Sunnah bersifat Qoth’iyyah ataupun Zhonniyah dalam petunjuknya. Apabila dalil tersebut bersifat qoth’iyyah maka secara adat mustahil tersembunyi dari Ummat Islam(pasti diketahui dan dijadikan dalil terhadap suatu masalah),oleh karenanya hukum syara’ pasti bersandar pada dalil qoth’iyyah bukan kepada Ijma,maka Ijma pasti tidak dibutuhkan karena ada dalil Al Qur’an atau Sunnah yang qoth’i dan sudah jelas. Dan apabila dalil tersebut bersifat zhonniyah maka mustahil Ijma terjadi berdasarkan dalil Zhonniyah,karena selama dalil tersebut Zhonny maka pasti akan menimbulkan perbedaan di kalangan Ahli Fiqih[5]

 



[1] Ijma bukanlah sumber hukum yang qoth’i,tetapi bisa berubah sesuai waktu dan tempat,kalau ada yang bisa merubahnya.

[2] Ketetapan ini adalah hasil Ijtihad para Shohabat,karena bagian kakek tidak disebutkan dalam Al Qur’an ataupun Sunnah.

[3] Karena hukum menyebutkan mahar dalam aqad adalah mustahab(sunat)

[4] Ijma selain hukum warits kakek ada yang sudah disebutkan hukumnya dalam Al Qur’an atau Sunnah,tetapi di ijmakan kembali oleh para shohabat sebagai taukid dan tanbih tentang pentingnya hukum hukum perkara tersebut.

[5] Contoh dalil zhonny adalah  lafazh قُرُوْء ,yang mempunyai dua ma’na yaitu haidh dan suci,tidak bisa dipaksakan mengikuti salah satu dari dua ma’na tersebut.

Da'wah adalah keajiban kita bersama,dengan blog ini hendak melaksanakan kewajiban tersebut.

Share this

Add Comments


EmoticonEmoticon