Dalil Yang disepakati : Sunnah

 

SUNNAH

PENGERTIAN

Sunnah menurut bahasa adalah الطّريقُ مَحمودةً كانت أو غيرَ محمودةٍ= jalan,baik terpuji atau tidak terpuji atau أو العادةُ =kebiasaan,atau أوْ الطّريقةُ المسلُوكَةُ=jalan yang ditempuh. Menunjukkan terhadap ma’na ma’na tersebut Sabda Rosululloh SAW dengan haditsnya

مَنْ سَنَّ في الإسلامِ سُنَّةً مسنةً فله أجْرُها,وأجْرُ مَنْ عَمِلَ بها بَعْدَه,مِنْ غَيْرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ أجورِهِم شَيْئٌ,وَمَنْ سَنَّ في الاسلام سُنَّةً سيِّئَةً كان عليه وِزْرُها,وَوِزْرُ مَن عَمِلَ بها مِنْ بَعْده مِنْ غيرِ أنْ يَنْقُصَ مِن أوْزارِهِمْ شَيْئٌ (رواه مسلم)

“Barang siapa yang men-sunnahkan(memulai) dalam islam suatu sunnah(perbuatan) yang baik maka dia akan mendapatkan pahala,dan pahala orang yang mengerjakan(kebaikan)sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun pahala orang yang melakukan sesudahnya. Dan barang siapa yang yang men-sunnahkan(memulai) suatu sunnah(perbuatan) yang buruk maka dia akan mendapatkan dosa,dan dosa orang yang mengerjakan(kebaikan)sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dosa orang yang melakukan sesudahnya.”

Sunnah menurut Istilah Ulama Ushul Fiqh adalah Sesuatu yang keluar dari Nabi SAW berupa ucapan,perbuatan atau ketetapan(Taqririy). Sunnah terbagi 3 :

Ø  Sunnah Qouliyyah : adalah hadits hadits yang diucapkan oleh Rosululloh dalam beberapa kesempatan yang berbeda,seperti hadits

إنّما الأعمال بالنّيّاتِ وإنّما لكُلِّ امْرِءٍ ما نَوَى (متفق عليه)

Sesungguhnya pekerjaan tergantung niatnya nya,dan sesungguhnya bagi setiap orang ada balasan sesuai niat(Muttafaq ‘Alaih)

Ø  Sunnah Fi’liyyah : adalah pekerjaan pekerjaan Nabi Shollallohu seperti pelaksanaan Sholat dan manasik haji.

Ø  Sunnah Taqririyyah : apa apa yang ditetapkan oleh Nabi SAW yang keluar dari sebagian Shohabatnya berupa ucapan dan pekerjaan dengan diamnya Nabi atau tidak mengingkari dan tidak menyetujuinya Nabi,dan memperlihatkan anggapan baiknya Nabi. Maka dari sikap sikap Nabi. Contohnya seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar.r.a beliau berkata : Bersabda Nabi SAW ketika pulang dari perang Ahzab/Khondaq :

لا يُصَلِّيَنَّ أحدٌ العَصْرَ إلّا في بني قريظَةَ فأدْركَ بعْضُهُم العصْرَ في الطّريقِ,فقال بعضُهم لا نُصَلِّي حتّى نأتِيَها,وقال بعضُهم بلْ نُصَلّي لَمْ يَرُدْ منّا ذلك فذُكِرَ للنّبيّ صلّى الله عليه وسلّم فلَمْ يُعَنّفْ واحدا منهم(متفق عليه)

“Janganlah Sholat seorangpun dari kalian kecuali di perkampungan Bani Quraizhoh,sebagian melaksanakan sholat di perjalanan dan sebagian lagi tidak melaksanakan kecuali di perkampungan Bani Quraizhoh,sebagian melaksanakan sholat di perjalanan,sebagian lagi mengatakan “kami tidak melaksanakan solat kecuali setelah sampai di perkampungan Bani Quraizhoh”,sebagian lagi mengatakan“  justru kita harus melaksanakan sholat,karena maksud beliau bukan begitu(supaya kita tidak sholat pada waktunya)”dan hal tersebut diceritakan kepada Nabi SAW,beliau tidak mencela seorang pun dari mereka”[1]

Contoh lain dari Sunnah Taqririyyah adalah tentang halalnya dhob(biawak gurun), yaitu ketika Para Shohabat melaksanakan misi da'wah ke luar daerah, lalu mereka menemukan dhob di perjalanan dan mereka menyembelih serta memakannya, Rosulullah bersabda "Kami tidak memakan binatang itu karena binatang tersebut tidak ditemukan di daerah kami." Jadi halalnya binatang tersebut di tetapkan oleh hadits Taqririyyah, karena para Shohabat yang melakukannya, tetapi Rosulullah tidak melarangnya. 

 

KEHUJJAHAN

 

Sunnah adalah hujjah(argumentasi)syar’iyyah yang wajib bagi kita untuk mengikutinya,dan disampaikan kepada kita melalui jalan yang shohih. Ummat Islam telah sepakat bahwa apapun yang keluar dari Nabi SAW berupa ucapan,pekerjaan atau penetapan yang bermaksud untuk men-syari’atkan hukum dan disampaikan kepada kita dengan sanad yang shohih dan menunjukkan dalil yang qoth’i(pasti) atau zhonny(dugaan) adalah hujjah(alasan) diniyyah ataupun sumber pen-syari’atan hukum.

Adapun dalil terhadap kehujjahan Sunnah adalah :

1.      Firman Alloh Ta’ala QS. Al Hasyr :7 dan QS. An Nisa :80

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”

مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ وَمَن تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظاً

“Barangsiapa yang menta'ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta'ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta'atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”

2.      Ijma’ Shohabat dan orang orang setelah Shohabat dari kalangan Salafu Sholih terhadap wajibnya mengikuti petunjuk dari Rosul dan Sunnahnya baik ketika Rosul masih ada maupun ketika Rosul sudah meninggal sampai Alloh mewariskan(menghancurkan) bumi dan apa yang ada di dalamnya.

3.      Dalil Aqli : Hal tersebut karena Alloh telah mewajibkan dalam Al Qur’an beberapa kewajiban secara global tanpa perincian,yang tidak di rinci hukum hukumnya dan kaifiyat nya dalam Al Qur’an,seperti Firman Alloh Ta’ala  وأقِيْموا الصّلاةَ وآتُوا الزّكاة(البقرة:43). kemudian datanglah Sunnah untuk merinci,menafsirkan atau menjelaskan ayat yang global ini. Kalaulah tidak ada sunnah yang jelas sebagai hujjah untuk Kaum Muslimin dan undang undang yang wajib untuk di ikuti,maka tidak mungkin terlaksananya kewajiban kewajiban dalam Al Qur’an dan tidak mungkin kita bisa mengikuti hukum hukum dalam Al Qur’an. Maka yang bisa difahami adalah bahwa Sunnah adalah hujjah syar’iyyah untuk Ummat Islam dan sumber pen-syari’atan yang dimana Mijtahid bisa menyimpulkan hukum hukum Syari;at untuk dikerjakan para Mukallaf.

 

HUBUNGAN TERHADAP AL QUR’AN

 

Hubungan Sunnah terhadap Al Qur’an dilihat dari dua segi

1.      Dari segi berhujjah dengan Sunnah

2.      Dari segi hukum hukum yang datang dalam Sunnah

 

Dari segi berhujjah dengan Sunnah dan kembali kepada Sunnah dalam menyimpulkan hukum hukum Syari’at ,maka Sunnah berada di tingkatan kedua(sebagai sumber hukum)setelah Al Qur’an. Seorang Mujtahid tidak akan kembali(mengambil hukum) kepada sunnah untuk mencari hukum yang terjadi kecuali apabila tidak menemukan dalam Al Qur’an tentang hukum hukum tersebut,atau dia menemukan dalam Al Qur’an kemudian mencari dalil untuk menetapkan atau menguatkan Al Qur’an[2] dari Sunnah. Al Qur’an adalah asal Tasyri’(pen-syari’atan) dan sumber awal dalam hukum,sedangkan sunnah adalah yang kedua.

Adapun hubungan Sunnah terhadap Al Qur’an dari segi hukum hukum yang datang dalam Sunnah,maka sunnah terbagiu tiga keadaan.

1.      Sunnah sebagai penguat Al Qur’an. Seperti Hadits  لا يَحِلُّ مالُ امْرِئٍ مسلِمٍ إلّا بطيْبِ نفْسِهِ =tidak halal harta seorang Muslim kecuali atas kerelaan dirinya(pemiliknya)(dikeluarkan oleh Abu Dawud) . hadits ini ada sebagai penetap dan penguat terhadap haramnya harta seorang Muslim yang telah dijelaskan oleh Firman Alloh dalam QS. An Nisa :29

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”

2.      Sunnah sebagai penjelas dan yang merinci hukum hukum yang bersifat global dalam Al Qur’an,seperti dalil kewajiban Sholat yang ada dalam Al Qur’an secara global dengan Firman Alloh :  maka datanglah Sunnah yang menjelaskan hukum hukum Sholat yaitu Rukun,syarat,sunat sunat Sholat dan yang lainnya.

3.      Sunnah berdiri sendiri dalam pen-syari’atan hukum yang tidak disebutkan dalam Al Qur’an,seperti hadits Abu Hurairoh.r.a. dia berkata

نَهَى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم أنْ تُنْكَح المرأةُ على عمّتِها أو خالتِها (رواه البخاري والمسلم)

“Rosululloh SAW melarang untuk menikahi seorang perempuan bersama dengan bibinya dari pihak bapak mertua dan bibi dari pihak ibu mertua(disatukan dalam satu ikatan pernikahan){H.R Bukhori Muslim}[3]

 

PEMBAGIAN

 

Menurut Mayoritas Ulama,dilihat dari sanadnya sunnah terbagi dua

1.      Mutawatir ; Hadits yang diriwayatkan oleh jama’ah(rowi yang banyak)[4] yang secara ‘adat mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk berdusta,mereka meriwayatkan dari awal sanad hingga akhir sanad(dari mulai masa shohabat-tabi’in-tabi-i ttabi’in) dengan redaksi yang sama. Mutawatir terbagi dua

1)      Mutawatir Lafzhi : hadits yang diriwayatkan jama’ah dari awal sanad hingga akhir sanad dengan redaksi yang sama(antara setiap jalur periwayatan),seperti ucapan Rosululloh SAW

مَنْ كَذَبَ عليَّ مُتَعَمِّدًا فلْيَتَبَوّأ مَقْعَدَه من النّار(متفق عليه)

Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan senggaja,maka dia sedang mempersiapkan tempat duduk di neraka(Muttafaq ‘Alaih)

2)      Mutawatir Ma’nawi : hadits yang diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda(antara setiap jalur periwayatan),tetapi mempunyai ma’na yang sama,seperti hadits hadits yang berkaitan dengan syafa’at yang memang banyak rowinya.

2.      Ahad : Hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang banyak pada setiap thobaqoh nya tetapi jumlahnya tidak mencapai derajat mutawatir,contoh hadits Abu Hurairoh bahwa Nabi SAW bersabda :

لا يُؤْمن أحَدُكُمْ حتَّى أكونَ أحَبُّ إليه مِنْ ولدِه ووالِدِه والنّاسِ أجْمعين(متفق عليه)

“Tidak sempurna Iman salah seorang diantara kalian sehingga aku lebih dicintai dari anaknya,orang tuanya dan seluruh manusia(muttafaq ‘alaih)

Hadits ini termasuk hadits ahad karena hanya diriwayatkan oleh dua orang pada satu thobaqoh walaupun banyak yang meriwayatkan pada thobaqoh yang lain,karena jumlahnya tidak mencapai batasan mutawatir

 

PETUNJUK TERHADAP HUKUM

 

Sunnah Mutawatir bersifat qoth’iyyah,karena pasti datangnya dari Rosul(jadi pasti shohihnya),pengambilan yang mutawatir berpaidah terhadap keharusan dan kepastian terhadap shohihnya hadits. Dan sunnah ahad bersifat zhonny karena datangnya dari Rosul adalah kemungkinan,karena sanadnya tidak berpaidah terhadap kepastian.

Adapun dari segi petunjuk terhadap hukum,sunnah baik mutawatir ataupun sunnah ahad bisa bersifat qhot’iyyah apabila nash(teks)nya tidak mengandung/mengharuskan ta’wil(pengertian yang lain)[5] dan terkadang bersifat zhonniyah apabila nash(teks)nya membutuhkan ta’wil.[6]

 



[1] Yang menjadi sunnah Taqririyyah dari kisah tersebut adalah Nabi tidak mencela seorang pun dari para Shohabat,Hukum yang bisa diambil adalah ketika waktu perang boleh Sholat yang tidak sesuai dengan susunan Sholat yang seharusnya,disebut Sholat Syiddatil Khouf

[2] Bukan berarti hukum Al Qur’an tidak kuat,sehingga harus diperkuat oleh Sunnah,tetapi untuk meyakinkan manusia tentang benarnya Al Qur’an dan Sunnah serta kolerasi antara keduanya.

[3] Dalam Al Qur’an hanya disebutkan haram memperistri seorang wanita sekaligus saudari kandungnya(An Nisa :23) sedangkan memperistri seorang wanita sekaligus bibinya diharamkan oleh hadits.

[4] Syarat Jumlah minimal Rowi dalam setiap Thobaqoh berbeda menurut banyak ahli hadits,tetapi dalam kitab Taisir Mushtholah Hadits minimal jumlah rowi pada setiap thobaqoh adalah 10 orang,sedangkan mayoritas Syafi’iyah mengatakan lima orang,merujuk pada jumlah Nabi Ulul Azmi.

[5] Seperti lafazh ((النّور:4) ثَمانِيْنَ جلْدة) yang sudah pasti artinya adalah 80 kali cambuk,tidak ada pengertian yang lain.

[6] Seperti lafazh (ثلاثةُ قُرُوءٍ(البقرة:228) ) yang dita’wil hingga mempunyai dua arti,yaitu tiga kali suci dan tiga kali haidh.

Da'wah adalah keajiban kita bersama,dengan blog ini hendak melaksanakan kewajiban tersebut.

Share this

Add Comments


EmoticonEmoticon